found Your self with your brain

Sabtu, 21 Januari 2012

Sebuah tempat dan posisi

by: Ryeoca Desta

            Hari itu masih pukul 06.25 pagi. Ia melaju secepat yang dia bisa, menggapai motornya, dan mengendarainya sekencang-kencangnya. Hingga tiba didepan sebuah kios Koran, ia turun dan membeli 3 koran lokal sekaligus, lalu melaju kembali ke jalanan. Ia ingin tiba secepatnya di sekolah.
            Ia memarkirkan motornya, di parkiran paling ujung, lalu duduk sejenak, membolak-balikkan Koran yang tadi di belinya. Dia hanya mencari sebuah berita, berita terbaru tentang seorang gadis dan seorang laki-laki yang terjebak di hutan dalam pendakiannya ke sebuah gunung. Di bacanya judul setiap halaman dengan sangat hati-hati, berharap menemukan berita yang dia cari.
            Hingga ia temukan sebuah artikel berjudul besar “Mereka berani mati”. Ia tertegun lalu membaca setiap kalimat yang tersusun rapi disana, ditulis dari seorang narasumber yang selamat pada pendakian itu. Ia berhenti dan menunduk ketika membaca sebuah paragraph, “malam itu, hujan yang sangat deras menerpa, disertai dengan hembusan angin yang sangat kencang, membuat kami harus keluar dari tenda dan mencari tempat berlindung yang aman agar terhindar dari pohon yang tumbang, akhirnya, kami menemukan sebuah Goa yang baik untuk berlindung, awalnya semua baik-baik saja, hingga terjadi longsor di tepi barat puncak gunung, tak jauh dari gua yang kami tempati. Mau tak mau, kami harus turun saat itu juga. Kak Mario mengusulkan agar kami turun dengan tali melewati tebing batu, karna hanya bagian itu yang dimungkinkan tidak terkena longsor. Kami pun memakai arnest dan turun satu-persatu, namun, ketika giliran Juwita dan Fani turun, arnest yang digunakan mereka tidak dalam keadaan baik, hal itu tak memungkinkan mereka untuk turun ke bawah, melihat Fani dan Juwita khawatir, kak Ocha dan kak Mario berbicara berdua, lalu melepaskan arnest mereka dan memakaikannya pada Fani dan Juwita. Kak Ocha lalu bilang “dek, kalian pergi saja duluan, nanti kakak cari jalan lain” katanya, dengan dibarengi anggukkan kak Mario. Itulah saat terakhir kami melihatnya, setelah kami tiba dibawah,  kami langsung meminta pertolongan, namun, ketika melihat kondisi longsor, akhirnya kami mulai khawatir, bagaimana mereka bisa menemukan jalan pulang? Mereka berani mati demi mengutamakan kami, ……………..”
            Dia masih tertegun, hingga bel sekolah berbunyi menyadarkannya, ia pun beranjak, dan menyadari, parkiran telah ramai. Dengan langkah gontai, ia melangkah menuju ruang kelasnya, Ruang Biologi. Ia masuk, sambil membenarkan letak kaca matanya seraya mencari tempat duduk yang masih kosong.
            “tumben, pagi-pagi bawa Koran jar?” Tanya doni yang duduk disampingnya.
            “tadi bokap nitip, minta beliin” jawabnya singkat.
            “bokap lo ngga langganan Koran jar?” Tanya doni lagi, dan Fajar, hanya menjawab dengan anggukan.
            Pelajaran Biologi tlah dimulai, namun, tetap saja, Fajar tak bisa berkonsentarasi pada pelajarannya pagi itu, padahal seharusnya, sebagai juara umum disekolah itu, ia harus bisa berkonsentrasi, apalagi, sekarang, ia sudah kelas XII. Dia terus gelisah, entah kenapa, bayangan Ocha berkelibat terus di benaknya, bayangan senyum Ocha yang tenang, dan tetesan air mata Ocha yang jatuh karenanya. Ia akhirnya teringat peristiwa seminggu sebelum Ocha pergi mendaki gunung.
            Hari itu, sore sekitar pukul 17.00, Fajar sengaja mengajak Ocha bertemu di belakang parkiran setelah usai les sore. Fajar akhirnya dating dengan tergesa-gesa, karna dia dating terlambat. Namun Ocha, tak pernah memarahinya karna keterlambatannya. Ocha menyambut kedatangan Fajar dengan tersenyum manis.
            “Cha, waktu gua mau ngomong ama lo, ngga banyak. Jadi gua harap lo dengerin dan jangan menyela. Kita berhubungan udah 2 tahun. Gue rasa, saat ini, waktu yang tepat buat kita pisah. Gua ga’ bisa lanjutin hubungan ma orang yang ngga bisa buat gue bangga. Dan, dari awal, gue emang ngga pernah suka ama lo. Gue bersyukur banget, elo mau ngerahasiain hubungan gila ini dari orang banyak. Lo bisa bayangin kan, gimana malunya gue, kalo orang tau, gue pacaran ma orang kayak lo! Ngga punya prestasi, manja, penyakitan, ugal-ugalan! Makasih, hubungan ini, kayak hiburan tersendiri buat gue!” ungkap Fajar sore itu dengan penuh keyakinan, mengungkapkan, apa yang tlah lama ingin ia ungkapkan. Sedang Ocha hanya menunduk kaku.
            “gue udah tau kok jar, lo ngga pernah suka ma gue. Gue juga tau, lo jadian ma gue 2 tahun yang lalu, karna kasihan liat bokap gue yang tiap hari bolak-balik di panggil Guru BK. Gue juga tau, ini rencana lo ma tu guru BK. Gue juga tau, awalnya lo nolak. Gue aja yang bodoh, tetep berharap lo suka ma gue. Oke, fine, kita udahin, maafin gua karna udah ganggu hidup lo.” Ujarnya sambil menunduk lalu berlalu meninggalkan Fajar.
            Fajar hanya tersenyum menang, merasa dia telah bebas dari pengganggu dan mainannya yang membosankan.
            Esoknya, satu sekolah gempar mendengar berita bahwa Fajar dan Nindy, udah pacaran. Semua orang menganggap, Nindy, pacar pertama Fajar. Hal itu, tidak mengganggu Fajar sama sekali. Ocha pun tetap riang seperti biasanya, meski, terkadang Fajar sempat khawatir, kalo Nindy bakal dikerjain ma Ocha. Dan kekhawatiran itu, tetaplah hanya kekhawatiran saja, karna Ocha tak pernah mengganggu Nindy. Ocha tenggelam dalam kesibukannya sendiri. Begitu juga dengan Fajar, yang sedang asyiknya pacaran dengan Nindy.
            Sore, itu, Fajar dan Nindy sedang membuat tugas bersama dari sekolah, tak sengaja, mereka melihat Ocha yang sedang memakai Caril besar, seperti hendak melakukan pendakian bersama teman-temannya. Ocha hanya tersenyum memandangi Fajar yang melihatnya, lalu mendekat ke arah mereka.
“Nindy, kamu koleksi awwetan bunga kan? Nanti aku bawakan bunga Edelweis buat kamu.” Ujar Ocha pada Nindy
“emang kamu mau kemana?” Tanya Fajar, dan sekali lagi Ocha hanya menjawab dengan tersenyum.
            Hingga esok harinya, Fajar mendengar berita hilangnya Ocha dan kak Mario.
           
            Siku Fajar terus disenggol Doni, namun Fajar belum tersadar dari lamunannya. Guru Biologi itu mendekat, dan mengeraskan suaranya bertanya pada Fajar.
            “Fajar, apa itu mutasi genetika?”
            Fajar yang kaget, akhirnya tersentak menjawab,
            “ah, ibu, eh, e, apa tadi bu?”
            “Fajar, Fajar, apa yang terjadi sama kamu? Kamu habis ribut ama Nindy yah? Ampe melamun kayak gitu?” Tanya guru biologi itu, yang membuat seisi kelas tertawa.

            Dua hari, tiga hari, empat hari, hingga lima hari, berita yang didapat Fajar, masih itu-itu saja. Ia terkulai lesu, seperti tak punya semangat. Ia tak pernah seperti ini sebelumnya. Ia terus berfikir, kenapa hanya gara-gara hilangnya Ocha, ia menjadi gelisah seperti ini, padahal disampingnya telah ada Nindy yang sangat pantas untuknya. Kenapa dia harus khawatir, bukankah dia tak bersalah atas hilangnya Ocha? Fikiran-fikiran itu terus menyelinap dalam benaknya.
            “jar, lo udah denger kabarnya belom?” Tanya hanif menyapanya.
            “kabar apaan nif? Tuh anak-anak madding buat gosip aneh lagi?”
            “bukan jar, soal Ocha ma kak Mario jar” Fajar langsung memperbaiki tempat duduknya ketika mendengar nama Ocha.
            “mereka udah ketemu nif?”
            “semangat banget lo nanyanya jar. Iya, pas subuh tadi, mereka tiba di pos bawah, di kaki gunung. Padahal tim SAR udah berabe nyari mereka, eh, mereka nongol sendiri.”
            “yang bener lo nif?”
            “ya jelas lah, gue dapet info terpercaya dari anak-anak PA. tapi sekarang, keadaan Ocha ma kak Mario masih belom sadar di Rumah Sakit, kabarnya sih,di tengah jalan, Kak Mario ngga bisa jalan karena lukanya banyak ngeluarin darah dan dia juga kecapean karna buka jalur baru yang harus ngikutin arus sungai. Jadi, Ocha yang mapah kak Mario ampe pos, padahal ocha, kaki nya luka parah ma tangan kirinya retak.” Jelas Hanif dengan semangat 45.
            “terus dia dirumah sakit mana sekarang?”
            “dirahasiakan. Pihak keluarga ngga mau anak mereka diganggu.”
            Meski belum puas mendengar kabar tersebut, namun Fajar tetap senang, karna Ocha ditemukan.

            Satu minggu kemudian, Ocha mulai masuk sekolah, dengan kaki yang berbalut kain putih dan sedikit pincang, dan tangan yang memakai kain penyangga. Dia datang, disambut bahagia teman-temannya. Dari jauh, Fajar memperhatikan sambil tersenyum. Ingin sekali dia kesana dan merangkul, orang yang dulu sangat ia benci itu. Ingin sekali dia kesana, dan mengatakan, betapa leganya dia, bisa melihat Ocha lagi, betapa takutnya dia, jika dia tidak bisa melihat Ocha lagi.
            Disela waktu olahraga, Ocha hanya duduk dikantin sendirian, sementara teman yang lain berlarian di lapangan. Fajar datang mengagetkannya.
            “Dari dulu udah dibilangin, ngga usah pake acara-acara naik gunung segala. Inilah jadinya kalo cewek manja, yang sok jadi pahlawan kayak kamu ikut naik gunung. Bikin orang pada khawatir aja bisanya !” ucap Fajar dengan ketus, seperti biasanya. Ocha tak lagi kaget, karna seperti itulah cara bicara Fajar pada Ocha. Selalu marah-marah dan memerintah. Dan seperti biasanya juga, Ocha hanya membalas dengan senyuman. Setelah puas melihat Ocha, Fajar dengan gaya angkuhnya, ingin pergi meninggalkan Ocha, ia senang, karna ia tetap bisa melihat Ocha.
            “Fajar, tunggu” cegah Ocha, dan Fajar menoleh.
            “aku bawa Edelweis buat Nindy. Nih, tolong sampein.” Ucap Ocha penuh senyum dan kelembutan. Fajar pun berbalik lagi menuju Ocha.
            “lo ini kenapa cha? Lo tuh seharusnya musuhin gue! Lo harusnya ngga sebaik ini! Gue udah 2 taun nyakitin lo! Mainin perasaan lo! Tapi kenapa lo ngga marah? Jangan terlalu polos cha!” teriak Fajar.
            “kenapa harus marah? Yah, itu kan udah berlalu, kita sama-sama punya salah. Apa sesudah putus, kita ngga boleh temenan?”
            “tapi gue dulu ngga pernah bahagiain lo. Gue ga pernah bicara yang lembut ma lo. Gue slalu marah-marah, merintah-merintah lo. Gue baru sadar, ketika lo ngga ada, kalo gue, emang manusia egois. Yang jadiin orang yang sayang ma gue, Cuma mainan. Maafin gue” ujar Fajar sambil berlutut dihadapan Ocha yang tengah duduk.
            “loh Fajar, kamu ngga boleh gini. Aku ngga apa-apa kok. Malah kamu yang udah mengubah aku, jadi sebaik ini. Dari kamu, aku belajar sabar, mengendalikan amarah, menjadi lebih dewasa. Lupain aja yang dulu, sekarang, kamu harus bahagiain Nindy yah. Jangan ngulangin yang dulu lagi.” Ucap Ocha sambil tersenyum.
            “lo suka ma gue, dari kelas 8, lo rela gue pergi dari lo?” Tanya Fajar. Dan Ocha menjawab dengan anggukan sambil tersenyum, lalu menyerahkan bunga Edelweis pada Fajar.
            “aku bukannya ngga sakit hati dan kecewa, atas kejadian dulu. Aku juga nangis dan sedih. Tapi, kak Mario mengajariku, bahwa semua orang punya tempat dan posisi yang harus diisinya, jika kita mengisi tempat dan posisi yang salah, maka hanya kekacauan yang akan timbul. Itulah yang terjadi dulu. Kini, aku akan mengisi tempat dan posisi yang seharusnya aku isi.  Yaitu tempatku disisimu, dan posisiku sebagai teman yang akan mendukungmu.”
            “makasih Cha, gue ngerasa bersalah, udah ngecewain lo. Udah sia-siain lo.”
 Mereka pun berjabat tangan dan tersenyum bersama.